Indonesia sekarang ini telah resmi miliki UU ITE. Tapi apakah efektif ?
Dunia ini dihuni oleh sekelompok mahluk homosuperior yang menghuni dunia maya, dan sisanya adalah kaum homo sapien yang menghuni dunia nyata. Diantara keduanya ada masyarakat kaum ampibi yang hidup di kedua dunia.
Kaum homo sapien yang menghuni dunia nyata, kini berniat menerapkan aturan dunia mereka pada dunia kaum homo superior yang hidup di dunia maya. Tentunya hal ini hanya dimungkinkan bila mereka memiliki pasukan ampibi yang cukup untuk mengawasi segalanya. Tanpa mengenal dunia maya, jelas akan sulit menerapkan apapun dari dunia nyata kedalamnya. Dan diperlukan pendidikan yang cukup sehingga tidak terjadi munculnya kaum “Ampibi Wannabe” yang berkeliaran menuduh ke kiri dan ke kanan tanpa dasar dan pengetahuan yang mungkin bagi kaum homosapien di dunia nyata terdengar hebat tapi merupakan guyonan yang sangat tidak lucu bagi masyarakat dunia maya yang dihuni kaum homosuperior.
Hal pertama yang diramaikan adalah masalah por**grafi. Kaum dunia nyata berkeinginan memblokir site-site yang berhubungan dengan hal tersebut. Saya sendiri termasuk yang tidak peduli. Mau diblokir atau tidak, tidak ada masalah. Namun harus jelas mana yang boleh dan mana yang tidak. Tetapi mengatasi penjual CD/DVD porno di glodok yang hanya berjarak 30 Meter dari kantor penegak hukum dunia nyata saja tidak pernah berhasil bagaimana mau mengurusi dunia maya ? Dalam salah satu tayangan televisi, pernah ditayangkan kisah itu. Saya tidak tahu sekarang ini, karena mungkin sudah 2 tahun saya tidak mampir ke glodok. Tapi dulu sih mereka memajangnya tanpa malu-malu dipinggir jalan. Dan kalaupun ada penggerebekan, tinggal tunggu waktunya suasana reda, mereka kembali ketempatnya. Seakan-akan penerapannya hanyalah “Trend Sesaat“.
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah batasan pornografi. Jelas bila kita bertanya pada orang FPI, GusDur, aa Gym, SBY, Para Menteri, dll, bisa memberikan batasan yang berbeda. Lalu batasan seperti apa pornografi yang akan di blokir. Dan akan sangat lucu bila batasan di dunia maya menjadi lebih ketat dibandingkan dengan dunia nyata. Tengok film sinetron. Tengok tabloit-tabloit.
Untuk melakukan pemblokiran, resource dalam bentuk dana dan manusia akan sangat banyak. Mengapa tidak memulai dari hal yang paling dasar. Misalnya dengan pendidikan. Saat ini sudah ada beberapa berita yang mengisahkan robohnya sekolah. Bagaimana pendidikan bisa berjalan baik bila sekolahnya roboh ? Bukankah hal seperti ini lebih krusial ? Belum lagi content filter yang digunakan bila dibuat terpusat. Bagaimana mekanismenya bila terjadi sebuah content terblokir tapi ternyata bukan content terlarang ? Apakah bukannya ini malah menyulitkan ? Karena itu penerapan filter harus dipikirkan masak-masak, dan bukan karena melihat celah terciptanya proyek baru ataupun department baru atau posisi baru atau apapun yang bertujuan negatif.
Tapi yang pasti beberapa hal yang masih menjadi wilayah abu-abu harus segera dipertegas agar tidak terdapat banyak nuansa warna warni yang mengundang pertentangan. Dan dalam persiapannya bagi mereka yang pro dan kontra agar lebih berhati-hati berucap agar suasana tetap enak dan tidak asal menuduh/berucap ucapan apalagi tuduhan yang bodoh tanpa dasar.
Dan yang pasti, karena “MEREKA” tidaklah bodoh….. “MEREKA” kaum homosuperior yang juga ikut membangun bangsa ini dengan berbagi pengetahuan melalui tulisan mereka yang baik. Tanpa “MEREKA” tak ada kaum anda “Ampibi Wannabe”. Dan “MEREKA” yang membuat hidup kita lebih berwarna.
3 responses to “UU ITE: Antara Homosuperior dan Homosapien”
wekekkee…
mantafff… 😀
Dh,
Mewakili Asosiasi Internet Indonesia, saya telah menulis sebuah artikel yang mendiskusikan kelemahan dan sebagian cacat hukum dari UU ITE yang baru, yang dapat anda download di http://www.isocid.net/kelemahanuuite.pdf
ulasan ttg UU ITE dpt disimak pada http://www.ronny-hukum.blogspot.com
salam