Pada saat memasuki tempat parkir yang dikelola oleh sebuah institusi resmi, kita akan mendapatkan sebuah karcis parkir dengan sejumlah peraturan didalamnya. Selain itu kita juga akan menemukan aturan-aturan, seperti keharusan membayar setiap jamnya sekian, sejam berikutnya sekian dan seterusnya. Kian hari harga perjam untuk parkir semakin mahal. Sementara fasilitas yang diberikan seringkali hanya sekedar parkir tanpa jaminan apapun atas nasib kendaraan kita yang tengah diparkir disitu.
Pada saat kita akan memarkirkan kendaraan kita, terkadang kita akan berjumpa kembali dengan petugas parkir yang akan membantu kita untuk memarkirkan kendaraan kita.
Setelah memarkirkan kendaraan, terkadang kita sudah ditunggui didepan pintu oleh petugas tersebut yang tujuannya tak lain dan tak bukan adalah “beri saya uang”.
Seakan tak cukup dengan bayaran parkir perjam yang kian meningkat, pada saat kita akan keluar dari area parkir tersebut, kembali sang petugas parkir menghampiri dan berseru, “terus terus terus”, sekalipun area sedang kosong sama sekali. Selanjutnya bisa ditebak, kembali penantian agar kita memberi uang menghampiri dari kaca jendela. Dan bila kita menolak memberi, bersiaplah untuk menerima, pelototan, tatapan sinis, dan kadang makian.
Tak hanya itu. Tukang-tukang parkir tak resmi pun berkeliaran dimana-mana dan menentukan tarif seenak jidat mereka. Disatu sisi kadang saya sendiri tak heran. Dulu saya pernah berdiskusi dengan salah satu dari mereka. Dan ternyata mereka di wajibkan untuk memberikan setoran ke pihak pemda (saya lupa departemen mana yang mengurus soal parkiran). Waktu itu (tahun 2004) kewajiban setor tukang parkir tak resmi ini kalau tidak salah adalah Rp 35.000/hari. Bayangkan bila mereka gagal mengumpulkan nilai tersebut. Mereka harus mengeruk saku pribadi untuk menutupinya. Dan bila mereka tak sanggup lagi memberi uang, maka lahan tersebut akan diberikan pada kelompok lain. Rp. 35.000 perhari di tambahkan dengan jumlah parkiran di jakarta dapet berapa yaa ?
Hal seperti ini pun terjadi pada para polisi “preman perempatan” alias polisi cepek.
Terasa seakan ini adalah bentuk lain dari premanisme yang di resmikan baik secara langsung ataupun tak langsung.
Terpikir kadang kita sama sekali tidak membutuhkan kehadiran mereka. Tapi seperti sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk mengharuskan kita memberi uang. Sementara biasanya kita memberikan uang untuk jasa yang kita minta atau butuhkan atau mungkin diberikan karena memang diperlukan.
Tapi yang terjadi saat ini, “anda harus membayar, karena saya ada disini“